DEFINISI dan KONSEP FILSAFAT DALAM ISLAM
Para ulama yang menganggap filsafat sebagai ilmu sesat adalah para ulama
arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yang beraliran salafy/wahaby/
ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai buku dan majalah dikatakan
bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangan dengan ajaran islam.
Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafat yang dianggap sesat
adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaran islam. Imam Ghazali
telah menulis buku yang mengkritik filsafat dan menyatakan kafirnya
berbagai ajaran fisafat. Namun kemudian Ibnu Rusyd (pengarang kitab
bidayatul mujtahid) menulis buku yang membantah buku Imam Ghazali
tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu Rusyd membela filsafat, mungkin filsafat
yang dibela ibnu rusyd adalah filsafat yang tidak bertentangan dengan
ajaran islam.
Tiga Istilah
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum
untuk filsafat. Pertama, istilah hikmah,yang tampaknya sengaja
dipakaiagar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, akan tetapi
berasal dari dan bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis
bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama
dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh
filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah)–yakni
Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.
Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa ‘falsafah’ itu artinya
hubb al-hikmah (cinta pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan
bahwa: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil
menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan
pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal
an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi l-haqa’iq
an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa
berhasil menggapai ‘hikmah’ sedemikian makaiatelah mendapat anugerah
kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam
al-Ghazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz ‘hikmah’
telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf, karena ‘hikmah’ yang dimaksud
dalam kitab suci al-Qur’an itu bukan filsafat, melainkan Syari‘at Islam
yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.
Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab
melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh
al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu
sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari kebenaran, manakala
filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat
itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia
mengenal dirinya. Demikian tulis al-Kindi.
Sekelompok cendekiawan bernama‘Ikhwan as-Shafa’ menambahkan: ‘Filsafat
itu berangkat darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan
berbuat sesuai dengan apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha
mahabbatul-‘ulum ... wa akhiruha al-qawl wal-‘amal bi-ma
yuwafiqul-‘ilm)’.
Ketiga, istilah ‘ulum al-awa’il yang artinya ‘ilmu-ilmu orang zaman
dulu’. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam
seperti India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk diantaranya ilmu
logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan
sebagainya.
Dalam al-Qur`an dan Hadits, kata al-hikmah sering kali ditemukan. Ulama
Muslim yang tersebar mencoba mendefinisikan terma al-hikmah ini, dan
juga istilah falsafah, yang telah masuk ke dalam bahasa Arab melalui
terjemahan Yunani pada Abad ke-8 atau 9. Di satu sisi, apa yang disebut
filsafat dalam bahasa Inggris, ternyata ditemukan pula dalam konteks
peradaban Islam. Bahkan tidak hanya pada aliran-aliran filsafat, tetapi
juga beberapa disiplin lain seperti kalâm, ma’rifah dan ushûl fiqh. Dan
di sisi lain, dengan berbedanya latar belakang para ulama itu, maka
berbeda juga pandangan dan pemahamannya tentang definisi dari hikmah dan
falsafah. Tentunya hal ini menyisakan satu pertanyaan penting; sejauh
manakah perhatian Islam terhadap filsafat?
Dalam sejarah Islam, istilah-istilah yang ada dalam kajian filsafat
Islam acapkali diperdebatkan oleh para filosof, ulama kalam dan
terkadang oleh kaum Sufi. Dari masa ke masa mereka membincangkan
definisi terma-terma itu tanpa berhasil mencapai titik temunya. Pada
perjalananya ini, istilah hikmah dan falsafah masih terus digunakan.
Sedangkan terma-terma derivatif seperti hikmah ilâhiyyah dan hikmah
muta’âliyyah berkembang di aspek lain dan memunculkan
pemaknaan-pemaknaan baru, terutama dalam alirannya Mulla Sadra.
Menariknya, hikmah, dalah satu terma yang masih diperdebatkan ini sering
direbutkan oleh para sufi, mutakallimîn dan filosof.
Dasar agama yang mereka gunakan pun sama; hadits Nabi yang berbunyi
“alayka bi al-hikmah? Fa`inna al-khayr fi sal-hikmah”. Kalangan sufi
semisal Tirmidhi dan Ibnu Arabi menyebut kebijaksanaan yang tersingkap
melalui setiap manifestasi dari simbol sebagai hikmah sebagaimana
termaktub dalam masterpiece-nya bertajuk Fushûsh al-Hikâm. Sedangkan
beberapa mutakallimîn seperti Fakhr al-Din al-Razi mengklaim bahwa yang
disebut Hikmah adalah kalâm, bukan filsafat. Ibnu Khaldun pun mengamini
pandangan ini dengan menyebut Kalam muta`akhkhirîn sebagai filsafat atau
Hikmah.
Dalam tulisan ini akan coba diuraikan pemahaman para filosof Muslim
tentang definisi dan arti konsep filsafat serta istilah hikmah dan
falsafah. Tentu saja pemahaman ini juga mencakup apa yang dipahami oleh
bangsa Yunani tentang istilah philosophia dan beberapa definisi dari
sumber-sumber Yunani, agar dapat diketahui bagaimana istilah dan
definisi tersebut masuk ke dalam Bahasa Arab.
Beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani yang dikenal kalangan filosof Muslim adalah :
- Filsafat (al-falsafah) adalah pengetahuan tentang segala eksistensi (keberadaan) sebagaimana ia ada.
- Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang seluruh hal yang sakral dan profan.
- Filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian, yang berarti, mencintai kematian itu sendiri
- Filsafat adalah berusaha menjadi seperti-Tuhan dalam batas kemampuan manusia.
- Filsafat adalah adalah seni dari segala seni dan ilmu dari segala ilmu.
- Filsafat adalah sinonim dari hikmah.
Para Filosof Muslim mengkompromikan definisi-definisi filsafat yang
mereka peroleh dari sumber-sumber klasik ini dengan apa yang mereka
kenal dalam istilah Qur`ani sebagai Hikmah, seraya meyakini bahwa asal
hikmah itu sendiri adalah suci. Filosof Muslim pertama, Abu Ya’qub
al-Kindi menulis dalam bukunya “ On First Philosophy “:
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang realita segala sesuatu dalam
batas kemampuan manusia, karena orientasi filosof dalam pengetahuan
teoretis adalah untuk mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan
praktis adalah berprilaku sesuai dengan kebenaran. Al-Farabi di samping
menyetujui pengertian ini, juga menambahkan pembedaan antara filsafat
yang didasari oleh kepastian (al-yaqîniyyah) seperti halnya demonstrasi
(baca : burhan), dan filsafat yang didasari oleh opini (al-madznûnah)
seperti halnya dialektika dan sophistry. Beliau juga bersikeras
menyatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan dan
berkaitan dengan segala sesuatu yang ada. Ibnu Sina juga menerima
definisi-definisi awal ini sambil membuat penjelasan-penjelasannya
sendiri.
Dalam bukunya “’Uyûn al-hikmah”, dia mengatakan: “Al-hikmah (filsafat)
adalah penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi dan pembenaran
(tashdîq) realita teoretis dan praktis sesuai dengan tingkat kemampuan
manusia”. Namun, ia beranjak lebih jauh dalam kehidupan setelah kematian
untuk membedakan antara Filsafat Paripatetik dan apa yang ia sebut
sebagai “Filsafat Oriental” (al-hikmah al-masyriqiyyah) yang tidak hanya
didasari oleh rasionalisasi namun juga disertai pengetahuan [sadar],
yang sekaligus juga menjadi batu awal bagi Filsafat Iluminasi
Suhrawardi.
Murid utama Ibnu Sina, Bahmanyar, di saat yang sama juga
mendefinisikankan filsafat hampir dekat dengan pengetahuan tentang
segala yang ada, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Sina dalam karya-karya
Peripatetiknya, seperti al-Syifâ`, mengulang ajaran Aristotelian bahwa
filsafat adalah ilmu tentang segala hal yang ada sebagaimana ia ada.
Bahmanyar dalam pembukaan bukunya “Talil”, menulis: “Tujuan ilmu-ilmu
filosofis adalah mengetahui segala yang ada”.
Pemikiran Isma’ili dan Hermetico-Pythagorean, yang dalam perkembangannya
lebih dikenal sebagai Filsafat Peripatetik (sekalipun berbeda dalam
perspektif filosofis), juga mendefinisikan filsafat tidak jauh dari para
Filosof Peripatetik di atas, seraya memberikan penegasan lebih jauh
pada hubungan antara aspek teoretis filsafat dan dimensi praktisnya,
antara berpikir secara filosofis dan mencapai kehidupan yang bahagia.
Jaringan dan hubungan yang terlihat sejak aliran filsafat Islam awal
ada, menjadi lebih kentara semenjak Suhrawardi. Kemudian, hakîm dalam
masyarakat Islam tidak hanya diartikan sebagai orang yang mampu mengkaji
konsep-konsep abstrak secara cerdas, namun juga orang yang bisa hidup
dengan mengamalkan kebijaksanaan (al-hikmah) yang ia pahami secara
teoretis.
Bukan gagasan Barat modern yang berkembang di dalam dunia Islam, namun
apa yang digulirkan oleh Ikhwan al-Shafa (abad 4-10) lah yang memberikan
pengaruh kapanpun filsafat Islam berkultivasi. Ikhwan al-Shafa menulis,
“Permulaan Filsafat adalah kecintaan pada ilmu, dilanjutkan dengan
pengetahuan tentang realitas segala sesuatu yang ada sesuai dengan
kemampuan manusia, dan berakhir pada perkataan serta perbuatan yang
sesuai dengan pengetahuan tersebut”.
Konsep filsafat yang berkaitan dengan pencapaian kebenaran tentang asal
segala wujud dan menggabungkan pengetahuan akal dengan penyucian dan
penyempurnaan wujud diri manusia ini, berlaku sampai sekarang di manapun
tradisi filsafat Islam berlanjut, dan pada kenyataannya, telah menjadi
representasi tradisi filsafat Islam yang paling sempurna hingga hari
ini.
Para pakar abad 14-20 seperti Mirth Ahmad Ashtiyani, pengarang buku
“Ndmayi Rahbardn-i Dmuzish-i Kitdb-i Takwin” (Petunjuk Pengajaran
Tentang Kitab Penciptaan) ; Sayyid Muhammad Kazim Ansar, pengarang
sekian banyak karya termasuk Wahdah Wujûd (Kesatuan Transenden Wujud);
Mahdi Ilahi Qumsha’i, pengarang “Hikmat-i Ildhi Khwdss wa Amm” (Filsafat
/ Teosofi - Umum Dan Khusus) dan Allamah Sayyid Muhammad Husayn
Thabataba`i, pengarang sejumlah karya terutama “Usul--i Falsafa -yi
Rializm” (Prinsip-prinsip Filsafat Realisme), semuanya menulis tentang
definisi filsafat sesuai dengan yang telah disebutkan di atas dan mereka
hidup sesuai dengan pemahaman tersebut.
Masing-masing dari karya dan hidup mereka, merupakan testimoni tidak
hanya terhadap seribuan tahun lebih perhatian filosof Muslim atas makna
konsep dan istilah filsafat, tapi juga terhadap signifikansi definisi
Islami atas falsafah sebagai sebuah realita yang mengubah akal dan jiwa
dan yang tidak pernah terpisah dari penyucian spiritual dan kesalehan
yang diimplikasikan oleh istilah “hikmah” dalam konteks Islam.
Kontroversi Filsafat Islam
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit
yang antipati terhadap filsafat –bukan (i) sebagai sikap mental, proses
nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai ‘barang impor’ yang
mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme,
danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak
oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada
sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakanakal, melecehkanNabi,
dansebagainya.
Di abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras
terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau
menganggap kufur tiga doktrin filsafat: pertama, keyakinan filosof bahwa
alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui
perkara-perkara detil; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap
kebangkitan jasad di hari qiyamat. Fatwa yang begitu keras melarang
pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn as-Sholah: ‘Filsafat
adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan.
Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya akan keutamaan Syari‘ah
suci yang ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa
mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan
terpedaya oleh setan.’
Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda
membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq) dan membatalkan yang batil
(ibthal al-bathil) secara rasional, persuasif dan elegan, maka bisa
dikategorikan fardu kifayah. Seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang
mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah
balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim menjawab,
“Aku percaya, akan tetapi[akubertanya] supaya hatiku tentram (mantap).”
Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus
keraguan.
Makalah Agama Islam
Dosen: Ibu Eva
No comments:
Post a Comment
Type Here